Kamis, 24 November 2011

Jabatan Ekstra Guru Indonesia. Komisi Pemberantas Bibit Korupsi



Membicarakan bagaimana peranan guru dalam mencerdaskan bangsa sepertinya tak akan ada habisnya. Beribu potret figur guru Indonesia mengayuh roda pendidikan mulai tipikal Umar Bakri bersepeda kumbang sampai tipikal guru elit bermobil mewah bak Malinda dee. Namun, membicarakan  bagaimana guru memberantas korupsi, ini akan menjadi tajuk bicara yang hangat.  Fakta ini perlu kita renungkan. Praktisi perfilman Korea, Shin Mi shun, yang terlibat program pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah Korea Selatan menemukan data mengejutkan. Sebagian besar korupsi bukan dilakukan para politisi atau pelaku bisnis, tapi justru melibatkan siswa dan guru. Menurut Mi shun, sekolah saat ini banyak mengalami dekadensi, karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk tingkah laku koruptif. Itu terjadi karena sekolah sering menganggap abnormalitas, seperti perilaku mencontek, sebagai hal umum, sepele, dan tidak serius. Walau tidak membenarkan perilaku ini, tapi banyak sekolah sering tidak tegas memberi sanksi bagi tindakan cikal sifat koruptif ini. Ini pula yang terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Melarang siswa mencontek, namun tak ada sanksi tegas bagi pelakunya. Efek jeranya hanya seperti gatalnya penyakit panu yang cukup digaruk jika gatal namun tidak diobati hingga tuntas.
Tak banyak orang menyadari bahwa kebiasaan mencontek dan ragam pelanggaran lain di sekolah, merupakan kunci terjadinya kelainan psikologis yang serius, yaitu gangguan kepribadian antisosial. Menurut Foelsch dan Kernberg (1998)[1], gangguan kepribadian antisosial merupakan bentuk terparah karakter narsistis patologis.Orang yang suka mencontek, adalah individu pengidap kepribadian antisosial yang termasuk tipe pasif parasitik. Tanda-tanda kepribadian menyimpang ini sudah timbul sejak usia belia. Gangguan perilakunya tampak dalam wujud mencontek, berbohong, dan mengeksploitasi orang lain. Apabila hal-hal itu tumbuh dan berkembang sejak usia dini dalam lingkungan sosial, benih kepribadian antisosial akan diserap dan ditoleransi. Hal yang tidak wajar juga akan dianggap wajar. Dinamika psikologis seperti itu memberi penjelasan atas penelitian Nonis dan Swift (1998)[2] dan Harding, Passow, dan Finelli (2004)[3] yang menyebutkan, pelajar yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja salah satunya adalah korupsi. Penyakit paling kronis di negara kita.
 Tujuan pendidikan karakter sangat selaras dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun sedikit yang terlupa adalah mengajarkan kepada anak bangsa di negeri ini tentang harga diri. Satu karakter kuat dari bangsa Jepang adalah harga diri. Bushido adalah semangat tinggi untuk mempertahankan harga diri termasuk negeranya. Semangat inilah yang harus dimiliki seorang samurai. Semangat ini lah yang selalu menjiwai orang Jepang.
Dengan semangat Bushido, Jepang mampu bangkit dari kehancuran setelah Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakkan bom Atom oleh sekutu. Negara yang mayoritas penduduknya tidak beragama ini, menempatkan harga diri yang besar untuk berjuang membangun negaranya. Dengan semangat Bushido juga penduduk Jepang berjibaku membangun negaranya yang sering diluluhlantakan gempa bumi menjadi benar-benar menjadi negeri matahari terbit. Terbit dari keterpurukan, terbit dari kehancuran dan kebodohan. Sangat memalukan seorang warga Jepang mengkhianati negaranya dengan mengeruk kekayaan negara, karena kembali lagi Bushido adalah semangat seorang samurai membela harga diri dan mempertahankan negaranya. Maka wajar jika para pejabat di Jepang yang korup atau salah membuat kebijakan yang merugikan negaranya akan dengan lapang dada melakukan harakiri sebagai penebus dosa. Bagaimana Indonesia? Tragisnya, harakiri di Indonesia malah dilakukan oleh pemuda-pemudi yang putus cinta. Memalukan!
Dalam kondisi ini tugas guru lebih berat. Peranan guru bukan melulu hanya tukang mengajarkan sesuatu kemudian menghitung skor kemampuan belajar siswa. Kini guru harus menjadi KPK di kelas. Bukan mengaudit kekayaan pejabat atau menguber-nguber koruptor namun membabat habis benih-benih koruptor dengan memberantas habis perilaku tidak jujur di keseharian para siswa. Peranan guru bukan lagi hanya mencerdaskan anak bangsa dengan aneka hafalan teori dan kecanggihan IPTEK namun membentuk karakter generasi yang jujur dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Membabat habis semua benih kecurangan dalam lingkup sekolah adalah bagian dari upaya benar-benar mencerdaskan bangsa. ketika benih kecurangan itu benar-benar hilang maka bibit-bibit korupsi pun dapat berangsur hilang juga. Dalam jiwa siswa akan tertanam kejujuran, bertanggung jawab dan memiliki etos belajar serta etos kerja yang bagus. Rasa bersaing yang fair dengan kemampuan diri sendiri akan merangsang kreatifitas siswa dan tak ada lagi mencontek, plagiatimsme atau pembajakan. 
Dalam keterbatasan dinding waktu KBM, saya selalu mendisain pembelajaran dan evaluasi belajar yang menekankan pada eksplorasi kemampuan mereka, percaya pada kemampuan diri  mereka sendiri dan tentunya jujur! Meski tidak merasa dilahirkan dengan gen menjadi guru, menjadi guru telah menjadi pilihan hidup saya. Pengetahuan lebih saya di bidang bahasa asing turut membukakan mata para siswa saya bahwa persaingan dunia global tidak bisa disikapi dengan menjadi pecundang kecil di kelas. Mengukir nilai raport dengan angka-angka fantastis tak cukup untuk membangun bangsa ini.
Kebangkitan RRC dari sejarah isolasi dirinya dibangun atas kerja keras dengan komitmen anak bangsa yang kuat. Negara yang sempat dijuluki pesakitan dari timur, pasca kekalahannya dari Jepang pada akhir PD II kini menjadi naga raksasa dalam perekonomian dunia bahkan mengancam keeksistensian Amerika Serikat sebagai “The Super Power”. Negara yang usia kemerdekaannya lebih belia daripada Indonesia ini memiliki Cadangan devisa dan volume investasi asing (FDI) Cina yang menurut “Zhu Rongji” dalam China`s Century, 2002 ada di urutan kedua dunia setelah AS

Pilar kebangkitan Cina adalah pendidikan. Cina mengarahkan reformasi pendidikannya pada sektor yang sedang trend dan berkembang, seperti bidang industri dan ekonomi kreatif. Dengan jumlah penduduk 1/3 total penduduk dunia telah menjadi asset tenaga kerja yang potensial. Adalah Li Lanqing seorang birokrat yang diamanahi menangani pendidikan Cina yang telah melaksanakan komitmennya untuk menjadikan seluruh generasi cina menjadi asset kebangkitan bangsanya. Li Lanqing mereformasi dunia pendidikan di Cina secara serius dengan mengembangkan Pendidikan karakter disamping reformasi pada kurikulum, buku teks, dan sistem evaluasi. Kurikulum sekolah dikembangkan sesuai dengan potensi yang dimiliki anak; kurikulum diarahkan untuk memfasilitasi semua potensi yang dimiliki anak agar berkembang secara optimal.

Seiring dengan reformasi kurikulum, alat evaluasi pun dibuat lebih manusiawi dan menghargai keberagaman kecerdasan.  Tak sedikit guru di Indonesia yang mengeluh bahwa terdapat beberapa “oknum” di kelasnya yang dinilai sebagai biang onar, si pemalas, dan si apatis. Seandainya para orang dewasa menyadari bahwa kenakalan-kenakalan tersebut adalah sebuah protes atas cara belajar yang dipaksakan dan sangat tak sesuai dengan karakteristik cara belajar mereka. Puncak dari luka batin karena vonis nilai dan kegagalan tes yang semestinya bukan 100% kesalahan mereka membuahkan  tradisi berbuat curang sebagai jalan pintas mendapat nilai memuaskan. Bagi mereka pendidikan adalah memenuhi permintaan standar nilai, kebanggaan dan penghargaan atas kemampuan mereka dinyatakan dalam nilai dengan tolak ukur yang sama, maka tak heran kecurangan-kecurangan  dalam pendidikan seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Meski tidak angkat senjata dan bersimbah darah, saya adalah pejuang dan memilih dunia guru sebagai medan juang saya. Meski hanya seorang belia dengan sedikit pengetahuan tapi menjadikan para siswa saya menjadi generasi berilmu namun bermartabat menjadi tujuan saya. Benih yang saya tanamkan adalah kejujuran. Tonggak yang saya tancapkan adalah percaya pada kemampuan diri sendiri. Meski bukan anggota KPK namun guru justru adalah motor utama pemberantas bibit koruptor. Korupsi hanya sebagian kecil penyakit yang menggerogoti bangsa ini tapi semua percaya bahwa  perlahan namun pasti akan menghancurkan Negara ini.
Keterbatasan ilmu dan tentunya dana untuk menimba ilmu di bangku formal tidak menghalangi saya untuk terus belajar. Tidak pula menghalalkan segala cara untuk meningkatkan kredibilitas diri dengan ikut menjadi pecundang misalnya membeli ijazah untuk kenaikan pangkat. Akses internet yang mudah dan murah saya manfaatkan untuk menimba ilmu di dunia maya. Menambah pengetahuan melalui beberapa blog guru seperti www.wijayalabs.com  sangat membantu saya. Artikel-artikel pendidikan bahkan informasi teknologi computer yang saya sebelumnya  tidak banyak ketahui membuka cakrawala baru keilmuan saya. Tak banyak guru yang melek IT. Kursus pun tak murah dan menyita waktu, tentunya blog guru seperti blog www.wijayalabs.com dapat menyajikan beberapa tutorial yang dapat dipelajari secara mandiri dan tentunya menyiapkan tantangan berupa berbagai kompetensi menggunakan materi yang telah dipelajari tersebut.  Gairah menulis para guru pun dapat disemai melalui berbagai kompetisi di blog seperti blog www.wijayalabs.com. Blog guru selain menambah pengetahuan juga menjadi sumber motivasi dan inspirasi berkarya, misalnya menulis artikel pendidikan bahkan membuat blog guru yang akan bermanfaat pula untuk rekan-rekan guru lainnya.Tentunya dengan semakin banyaknya tambahan ilmu dan tantangan kompetisinya semakin bertambah pula kreatifitas guru sehingga kelak akan menemukan berbagai metode dan strategi mencerdaskan anak bangsa dengan potensi kecerdasan yang beragam ini.
artikel ini saya  susun dalam rangka mengikuti lomba blog yang diadakan oleh http://www.wijayalabs.com untuk memperingati hari guru dengan tema “Peran Guru dalam Mencerdaskan Bangsa

[1] Foelsch, P.A.,&Kernberg, O.F. 1998. Transference-Focused Psychotherapy for Borderline Personality Disorders. Psychotherapy in Practice, 4(2), 67-90.
[2] Nonis, Sarath A. and Cathy Owens Swift. “Deterring Cheating Behavior in the Marketing Classroom: An Analysis of the Effects of Demographics, Attitudes and In-class Deterrent Strategies,” Journal of Marketing Education, 20 (3), 188-199. 1998.
[3] Harding, T. S., Carpenter, D. D., Finelli, C. J., & Passow, H. J. (2004). Does academic dishonesty relate to unethical behavior in professional practice? An exploratory study. Science and Engineering Ethics, 10, 311–324.

3 komentar:

Wijaya kusumah mengatakan...

OK, good posting!

salam
Omjay

Anonim mengatakan...

Menurut Mi shun, sekolah saat ini banyak mengalami dekadensi, karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk tingkah laku koruptif. Itu terjadi karena sekolah sering menganggap abnormalitas, seperti perilaku mencontek, sebagai hal umum, sepele, dan tidak serius.
===>

Inilah yg menjadi keprihatinan kita semua sebagai pendidik bangsa.

Deni mengatakan...

keren bu guru..