Membicarakan bagaimana peranan guru dalam mencerdaskan bangsa sepertinya tak akan ada habisnya. Beribu potret figur
guru Indonesia mengayuh roda pendidikan mulai tipikal Umar Bakri bersepeda
kumbang sampai tipikal guru elit bermobil mewah bak Malinda dee. Namun, membicarakan bagaimana guru memberantas korupsi, ini akan
menjadi tajuk bicara yang hangat. Fakta
ini perlu kita renungkan. Praktisi perfilman Korea, Shin Mi shun, yang terlibat
program pendidikan antikorupsi di sekolah-sekolah Korea Selatan menemukan data
mengejutkan. Sebagian besar korupsi bukan dilakukan para politisi atau pelaku
bisnis, tapi justru melibatkan siswa dan guru. Menurut Mi shun, sekolah saat
ini banyak mengalami dekadensi, karena membiarkan munculnya bentuk-bentuk
tingkah laku koruptif. Itu terjadi karena sekolah sering menganggap
abnormalitas, seperti perilaku mencontek, sebagai hal umum, sepele, dan tidak
serius. Walau tidak membenarkan perilaku ini, tapi banyak sekolah sering tidak
tegas memberi sanksi bagi tindakan cikal sifat koruptif ini. Ini pula yang
terjadi di sekolah-sekolah Indonesia. Melarang siswa mencontek, namun tak ada
sanksi tegas bagi pelakunya. Efek jeranya hanya seperti gatalnya penyakit panu
yang cukup digaruk jika gatal namun tidak diobati hingga tuntas.
Tak banyak orang menyadari
bahwa kebiasaan mencontek dan ragam pelanggaran lain di sekolah, merupakan
kunci terjadinya kelainan psikologis yang serius, yaitu gangguan kepribadian
antisosial. Menurut Foelsch dan Kernberg (1998)[1],
gangguan kepribadian antisosial merupakan bentuk terparah karakter narsistis
patologis.Orang yang suka mencontek, adalah individu pengidap kepribadian
antisosial yang termasuk tipe pasif parasitik. Tanda-tanda kepribadian
menyimpang ini sudah timbul sejak usia belia. Gangguan perilakunya tampak dalam
wujud mencontek, berbohong, dan mengeksploitasi orang lain. Apabila hal-hal itu
tumbuh dan berkembang sejak usia dini dalam lingkungan sosial, benih
kepribadian antisosial akan diserap dan ditoleransi. Hal yang tidak wajar juga
akan dianggap wajar. Dinamika psikologis seperti itu memberi penjelasan atas
penelitian Nonis dan Swift (1998)[2]
dan Harding, Passow, dan Finelli (2004)[3]
yang menyebutkan, pelajar yang melakukan ketidakjujuran akademik cenderung akan
melakukan ketidakjujuran di lingkungan kerja salah satunya adalah korupsi.
Penyakit paling kronis di negara kita.
Tujuan pendidikan karakter sangat
selaras dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada
Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab. Namun sedikit yang terlupa adalah mengajarkan kepada anak bangsa di
negeri ini tentang harga diri. Satu karakter kuat dari bangsa Jepang adalah
harga diri. Bushido adalah semangat tinggi untuk mempertahankan harga diri termasuk
negeranya. Semangat inilah yang harus dimiliki seorang samurai. Semangat ini
lah yang selalu menjiwai orang Jepang.
Dengan semangat Bushido,
Jepang mampu bangkit dari kehancuran setelah Hiroshima dan Nagasaki
diluluhlantakkan bom Atom oleh sekutu. Negara yang mayoritas penduduknya tidak
beragama ini, menempatkan harga diri yang besar untuk berjuang membangun
negaranya. Dengan semangat Bushido juga penduduk Jepang berjibaku membangun negaranya yang sering
diluluhlantakan gempa bumi menjadi
benar-benar menjadi negeri
matahari terbit. Terbit dari keterpurukan, terbit dari kehancuran dan
kebodohan. Sangat memalukan seorang warga Jepang mengkhianati negaranya dengan
mengeruk kekayaan negara, karena kembali lagi Bushido adalah semangat seorang
samurai membela harga diri dan mempertahankan negaranya. Maka wajar jika para
pejabat di Jepang yang korup atau salah membuat kebijakan yang merugikan
negaranya akan dengan lapang dada melakukan harakiri sebagai penebus dosa. Bagaimana
Indonesia? Tragisnya, harakiri di
Indonesia malah dilakukan oleh pemuda-pemudi yang putus cinta. Memalukan!
Dalam kondisi ini tugas guru
lebih berat. Peranan guru bukan melulu hanya tukang mengajarkan sesuatu
kemudian menghitung skor kemampuan belajar siswa. Kini guru harus menjadi KPK
di kelas. Bukan mengaudit kekayaan pejabat atau menguber-nguber koruptor namun
membabat habis benih-benih koruptor dengan memberantas habis perilaku tidak
jujur di keseharian para siswa. Peranan guru bukan lagi hanya mencerdaskan anak
bangsa dengan aneka hafalan teori dan kecanggihan IPTEK namun membentuk karakter
generasi yang jujur dan percaya pada kemampuan diri sendiri. Membabat habis semua benih kecurangan dalam lingkup sekolah adalah bagian dari upaya benar-benar mencerdaskan bangsa. ketika benih kecurangan itu benar-benar hilang maka bibit-bibit korupsi pun dapat berangsur hilang juga. Dalam jiwa siswa akan tertanam kejujuran, bertanggung jawab dan memiliki etos belajar serta etos kerja yang bagus. Rasa bersaing yang fair dengan kemampuan diri sendiri akan merangsang kreatifitas siswa dan tak ada lagi mencontek, plagiatimsme atau pembajakan.
Dalam keterbatasan dinding waktu KBM, saya selalu mendisain pembelajaran
dan evaluasi belajar yang menekankan pada eksplorasi kemampuan mereka, percaya
pada kemampuan diri mereka sendiri dan
tentunya jujur! Meski tidak merasa dilahirkan dengan gen menjadi guru, menjadi
guru telah menjadi pilihan hidup saya. Pengetahuan lebih saya di bidang bahasa
asing turut membukakan mata para siswa saya bahwa persaingan dunia global tidak
bisa disikapi dengan menjadi pecundang kecil di kelas. Mengukir nilai raport
dengan angka-angka fantastis tak cukup untuk membangun bangsa ini.
Kebangkitan RRC dari sejarah isolasi dirinya dibangun atas kerja keras
dengan komitmen anak bangsa yang kuat. Negara yang sempat dijuluki pesakitan
dari timur, pasca kekalahannya dari Jepang pada akhir PD II kini menjadi naga
raksasa dalam perekonomian dunia bahkan mengancam keeksistensian Amerika
Serikat sebagai “The Super Power”. Negara yang usia kemerdekaannya lebih
belia daripada Indonesia ini memiliki Cadangan devisa dan volume investasi
asing (FDI) Cina yang menurut “Zhu Rongji” dalam China`s Century, 2002 ada
di urutan kedua dunia setelah AS
Pilar kebangkitan Cina adalah pendidikan. Cina mengarahkan reformasi
pendidikannya pada sektor yang sedang trend dan berkembang, seperti bidang
industri dan ekonomi kreatif. Dengan jumlah penduduk 1/3 total penduduk dunia
telah menjadi asset tenaga kerja yang potensial. Adalah Li Lanqing
seorang birokrat yang diamanahi menangani pendidikan Cina yang telah
melaksanakan komitmennya untuk menjadikan seluruh generasi cina menjadi asset
kebangkitan bangsanya. Li Lanqing mereformasi dunia pendidikan di Cina
secara serius dengan mengembangkan Pendidikan karakter disamping reformasi pada
kurikulum, buku teks, dan sistem evaluasi. Kurikulum sekolah dikembangkan
sesuai dengan potensi yang dimiliki anak; kurikulum diarahkan untuk
memfasilitasi semua potensi yang dimiliki anak agar berkembang secara optimal.
Seiring dengan reformasi kurikulum, alat evaluasi pun dibuat lebih
manusiawi dan menghargai keberagaman kecerdasan. Tak
sedikit guru di Indonesia
yang mengeluh bahwa terdapat beberapa “oknum” di kelasnya yang dinilai sebagai
biang onar, si pemalas, dan si apatis. Seandainya para orang dewasa menyadari
bahwa kenakalan-kenakalan tersebut adalah sebuah protes atas cara belajar yang
dipaksakan dan sangat tak sesuai dengan karakteristik cara belajar mereka. Puncak dari luka
batin karena vonis nilai dan kegagalan tes yang semestinya bukan 100% kesalahan
mereka membuahkan tradisi berbuat curang
sebagai jalan pintas mendapat nilai memuaskan. Bagi mereka pendidikan adalah
memenuhi permintaan standar nilai, kebanggaan dan penghargaan atas kemampuan
mereka dinyatakan dalam nilai dengan tolak ukur yang sama, maka tak heran
kecurangan-kecurangan dalam pendidikan
seperti lingkaran setan yang tak ada ujungnya.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Meski tidak angkat senjata dan
bersimbah darah, saya adalah pejuang dan memilih dunia guru sebagai medan juang
saya. Meski hanya seorang belia dengan sedikit pengetahuan tapi menjadikan para
siswa saya menjadi generasi berilmu namun bermartabat menjadi tujuan saya.
Benih yang saya tanamkan adalah kejujuran. Tonggak yang saya tancapkan adalah
percaya pada kemampuan diri sendiri. Meski bukan anggota KPK namun guru justru adalah
motor utama pemberantas bibit koruptor. Korupsi hanya sebagian kecil penyakit
yang menggerogoti bangsa ini tapi semua percaya bahwa perlahan namun pasti akan menghancurkan Negara
ini.
Keterbatasan ilmu dan tentunya dana untuk menimba ilmu di bangku formal
tidak menghalangi saya untuk terus belajar. Tidak pula menghalalkan segala cara
untuk meningkatkan kredibilitas diri dengan ikut menjadi pecundang misalnya membeli
ijazah untuk kenaikan pangkat. Akses internet yang mudah dan murah saya
manfaatkan untuk menimba ilmu di dunia maya. Menambah pengetahuan melalui
beberapa blog guru seperti www.wijayalabs.com
sangat membantu saya. Artikel-artikel
pendidikan bahkan informasi teknologi computer yang saya sebelumnya tidak banyak ketahui membuka cakrawala baru
keilmuan saya. Tak banyak guru yang melek IT. Kursus pun tak murah dan menyita
waktu, tentunya blog guru seperti blog www.wijayalabs.com dapat menyajikan beberapa
tutorial yang dapat dipelajari secara mandiri dan tentunya menyiapkan tantangan
berupa berbagai kompetensi menggunakan materi yang telah dipelajari tersebut. Gairah menulis para guru pun dapat disemai
melalui berbagai kompetisi di blog seperti blog www.wijayalabs.com. Blog guru selain menambah pengetahuan juga menjadi sumber motivasi dan inspirasi berkarya, misalnya menulis artikel pendidikan bahkan membuat blog guru yang akan bermanfaat pula untuk rekan-rekan guru lainnya.Tentunya dengan
semakin banyaknya tambahan ilmu dan tantangan kompetisinya semakin bertambah
pula kreatifitas guru sehingga kelak akan menemukan berbagai metode dan
strategi mencerdaskan anak bangsa dengan potensi kecerdasan yang beragam ini.
artikel ini saya susun dalam rangka mengikuti lomba blog yang diadakan oleh http://www.wijayalabs.com untuk memperingati hari guru dengan tema “Peran Guru dalam Mencerdaskan Bangsa”
[1] Foelsch, P.A.,&Kernberg, O.F. 1998. Transference-Focused
Psychotherapy for Borderline Personality Disorders. Psychotherapy in
Practice, 4(2), 67-90.
[2] Nonis, Sarath A. and Cathy Owens Swift. “Deterring Cheating Behavior in
the Marketing Classroom: An Analysis of the Effects of Demographics, Attitudes
and In-class Deterrent Strategies,” Journal of Marketing Education, 20
(3), 188-199. 1998.
[3] Harding, T. S., Carpenter,
D. D. , Finelli, C. J., & Passow, H. J.
(2004). Does academic dishonesty relate to unethical behavior in professional
practice? An exploratory study. Science and Engineering Ethics, 10,
311–324.