Minggu, 14 September 2008

Menggugah Patriotisme Pada Sepotong Tempe


Nasionalis dan tempe. Tentu sepertinya kalimat tersebut benar-benar nggak nyambung! Ngawur ! Tapi dari tempelah sebenarnya kita bisa menguji cinta pemerintah Negara kita, para pejabat Negara kita dan mentok ke kepala negara alias RI 1. Mengapa Why? Why mengapa?

Tempe dan kerabatnya adalah makanan tradisional terbuat dari kedelai yang diandalkan rakyat jelata sampai kelas juragan sebagai sumber protein nabati. Tentang kandungan gizinya tak perlu diperdebatkan. Selain sebagai sumber vitamin B, pada kedelai sebagai bahan baku utama tempe tersimpan segudang zat antioksidan berkhasiat obat. Diantaranya genistein daidzein, fitosterol, asam fitat, asam fenolat, lesitin dan inhibitor protease yang bekerja sebagai senyawa anti kanker. [1]

Dengan kisaran harga rata-rata makanan pemasok protein seperti ayam potong pada level harga Rp 18.000 per kg, daging sapi Rp 45.00 dan telur ayam pada level harga lebih dari Rp. 10.000 per kg[2] pada tahun 2007 dan terus melambung pada tahun 2008 mengikuti lonjakan kenaikan harga BBM hingga harga daging sapi mencapai Rp 72.000-75.00, ayam potong Rp. 27.000, telur Rp 17.000-18.000. Bagi masyarakat Indonesia tempe adalah sumber pemasok protein yang murah dan lezat. Citarasanya yang fleksibel bisa diolah dalam bentuk dan menu makanan yang variatif menjadikan tempe menjadi lauk pauk primadona di seluruh penjuru nusantara. Secara turun temurun bangsa ini telah mewarisi metode pengolahan kedelai menjadi tempe serta berbagi kreasi pengolahannya.

Penggemar tempe tak terbatas pada jenjang umur tertentu maupun status kelas sosial tertentu, meskipun memang tempe terkesan lebih akrab bagi lidah para kelas sosial menengah kebawah. Namun sayang ketahanan pangan negara yang oleh guru-guru kita semasa SD dikatan negara Agraris demikian rapuh hingga menyebabkan tempe yang telah menjadi makanan utama rakyat Indonesia mendadak naik pangkat menjadi makanan mewah nan mahal. Kebijakan pemerintah dari berbagai rezim yang tak berpihak pada ketahanan pangan nasional dan pembangunan di bidang pertanian menyebabkan ketergantungan kedelai sebagai bahan utama pembuatan tempe pada impor. Sungguh ironis, Indonesia yang terkenal sebagai negara agraris dan kaya dengan hutan tropis dengan iklim yang sangat mendukung pertanian malah ketagihan impor beberapa bahan pangan termasuk kedelai. Tiap tahun Indonesia rata-rata mengimpor 1,3 juta ton atau 60 persen dari kebutuhan kedelai nasional[3] . Menakjubkan bukan?

Melonjaknya harga kedelai di dunia membuat industri-industri tempe di Indonesia sangat terpukul, dengan meningkatnya harga bahan baku tentu akan meningkatkan harga penjualan sedangkan krisis ekonomi yang tak berkesudahan di negara ini terus memukul mundur daya beli rakyat terhadap pangan. World Development Indicator 2007 menunjukkan, dari jumlah penduduk Indonesia sebanyak 217,1 juta jiwa, 37,17 juta jiwa adalah penduduk miskin dan 13,8 juta jiwanya (6% dari total penduduk) adalah penduduk rawan pangan. Dan 37,17 juta jiwa tersebut bisa dipastikan ikut menggantungkan asa pada nilai gizi tempe. Jika untuk membeli tempe saja mereka tak mampu lagi lalu bahan makanan apalagi yang harus mereka berikan pada sebagai sumber gizi anak-anak mereka??? Intake gizi apa lagi yang bisa diberikan kepada para generasi penerus pembangunan dan peradaban bangsa ini sedangkan pembangunan memerlukan sumber daya manusia dengan fisik dan mental yang sehat, berintelektual tinggi, berwawasan pada teknologi yang maju, dan semua itu memerlukan jaminan gizi yang cukup dan bernilai tinggi. Intake gizi dari tempe saja tak mampu lalu generasi seperti apa yang diharapkan bangsa ini untuk meneruskan laju pembangunan dalam kepungan modernisasi dan globalisasi ini.

Kehancuran harga kedelai berawal pada tahun 2000 ketika produksi kedelai AS melimpah sehingga untk menjaga kestabilan harga maka AS melalui USDA (United State Departement of Agriculture) memberikan fasilitas kredit impor khususnya kepada importer kedelai Indonesia[4]. Dengan fasilitas ini dan harga yang lebih murah yaitu Rp 1.950 per kg untuk kedelai impor dibandingkan dengan kedelai lokal dengan harga Rp 2.500 per kg maka para pelaku industri tempe lebih memilih menggunakan kedelai impor. Kebijakan AS yang serta merta diterima pemerintah Indonesia kini menjadi bumerang yang semakin melumpuhkan ekonomi rakyat.

Seiring perkembangan pesat Cina dan India yang begitu besar maka industri dan transportasi mereka menyerap begitu banyak cadangan BBM dunia berbahan fossil. Menipisnya BBM berbahan fosil dan diikuti dengan ketegangan politik di Timur tengah membuat harga BBM dunia melonjak tajam, sehingga AS dan beberapa negara maju lainnya mengembangkan bahan bakar biodesel berbahan baku jagung. AS kemudian melalui kebijakan pertaniannya memfasilitsi para petaninya untuk menanam jagung, akibatnya para petani AS berbondong-bondong mengalihkan diri bercocok tanam kedelai yang menyebabkan pasokan kedelai berkurang hingga harga kedelai khususnya yang diimpor ke Indonesia pun meningkat tajam. Sementara itu petani Indonesia melalui UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman yang membebaskan petani untuk mengembangkan komoditas yang mereka sukai, telah meninggalkan budidaya kedelai di lahan mereka karena menganggapnya tak menguntungkan akibatnya ketika harga kedelai impor melonjak areal penanaman kedelai sudah jauh menyusut dan tak mampu memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri sebagai bahan baku tempe.

Ketragisan bangsa ini semakin parah dengan terbitnya pengakuan Hak Cipta tempe yang malah dimiliki bangsa asing. Dunia telah mencatat bahwa 19 paten tentang tempe telah dimiliki 13 buah milik Amerika Serikat dan 6 buah milik Jepang. Hak paten dari Amerika Serikat tersebut dimiliki oleh perusahaan Z-L Limited Partnership, Gyorgy, Pfaff, serta Yueh dan kawan-kawan. Z-L limited[5]. Bisa dibayangkan suatu saat para pengerajin dan pelaku industri tempe akan kucing-kucingan dengan polisi karena tak mengantongi ijin dari pemilik paten tempe. Tragis sungguh benar-benar tragis, padahal tempe adalah salah satu warisan budaya bangsa. Untuk membela nasib sepotong tempe saja tak seorangpun tampil sebagi patriot maka selamanya bangsa ini akan terus menjadi bangsa yang yang tertindas dan terlindas kolonialisme modern yang diusung para negara-negara komprador. Selamanya imperialisme dengan kedok investor asing, negara kreditor akan terus menancapkan kukunya di bumi pertiwi ini.

Sudah selayaknya pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab “mengurusi” kehidupan rakyatnya dan menjamin kesejahteraannya membuat kebijakan-kebijakan yang mengakar pada pemenuhan kebutuhan rakyat khususnya bidang pertanian untuk menyokong ketahanan pangan negara ini. Tentunya kebijakan-kebijakan yang bukan berorientasi pada kepentingan pihak asing apalagi hanya menjadi sapi perahan dunia perdagangan berlabel perdagangan bebas. Sudah saatnya di usia 100 tahun Kebangkitan Nasional bangsa ini kita benar-benar menjadi bangsa yang mandiri dan berdaulatan. Membenahi perekonomian rakyat terutama penggerak ekonomi dasar seperti petani dan nelayan adalah PR yang harus segera dituntaskan. Mengangkat derajat ekonomi dan martabat bangsa ini adalah agenda perjuangan berikutnya setelah kemerdekaan yang telah tercapai 63 tahun yang lalu.


[1] Wied Harry A, Kedele dan Tempe. Majalah Sedap Sekejap Edisi 4/II/2001

[3] www.kompas.com 16 Januari 2008

[4] www.kompas.com 16 Januari 2008

1 komentar:

andreas iswinarto mengatakan...

menarik, semua dimulai dari hal kecil. dibalik sepotong tempe terhubunga soal-soal bangsa
bravo

Jejak Langkah Sebuah Bangsa, Sebuah Nation

Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya,
kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya.
Kalau dia tak mengenal sejarahnya.
Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya,”

-Minke, dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer-
Dikutip Kompas di tulisan pembuka liputan khusus Anjer-Panarukan

Saya memberikan apresiasi yang besar kepada Koran Kompas dan juga kalangan pers pada umumnya yang secara intens dan kental mendorong munculnya kesadaran historis sekaligus harapan dan optimisme akan masa depan Indonesia. Mempertautkan makna masa lalu, masa kini dan masa depan. Ini nampak paling tidak sejak bulan Mei secara rutin Kompas memuat tulisan wartawan-wartawan seniornya dan mungkin beberapa orang non wartawan kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional . Patut diapresiasi pula liputan besar Kompas “Ekspedisi 200 Tahun Jalan Pos Anjer-Panaroekan”.

Daniel Dhakidae yang juga menjadi salah satu penulis seri 100 Tahun Kebangkitan Nasional Kompas ini pernah mengatakan bahwa “sejarah bukan masa lalu akan tetapi juga masa depan dengan menggenggam kuat kekinian sambil memperoyeksikan dirinya ke masa lalu. Warisan tentu saja menjadi penting terutama warisan yang menentukan relevansi kekinian. Apa yang dibuat disini adalah melepaskan penjajahan masa kini terhdap masa lalu dan memeriksa kembali masa lalu dan dengan demikian membuka suatu kemungkinan menghadirkan masa lalu dan masa depan dalam kekinian”. (Cendekiawan dan Kekuasaan : Dalam Negara Orde Baru; Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal xxxii)

Dalam bukunya itu contoh gamblang diperlihatkan oleh Dhakidae, dimana sebelum sampai pada bahasan masa Orde Baru ia melakukan pemeriksaaan wacana politik etis sebagai resultante pertarungan modal, kekuasaan negara kolonial, dan pertarungan kebudayaan antara Inlander vs Nederlander, antara boemipoetra dan orang Olanda. Baginya zaman kolonial menjadi penting bukan semata sebagai latarbelakang, akan tetapi wacana itu begitu menentukan yang dalam arti tertentu bukan saja menjadi pertarungan masa lalu akan tetapi masa kini.

Kompas saya pikir telah mengerjakan ini dengan sangat baik dan saya mendapatkan pencerahan dari sana (o iya Bung Daniel adalah juga kepala litbang Kompas)

Untuk meningkatkan akses publik ke seluruh tulisan-tulisan berharga ini, saya menghimpun link seri artikel Kompas bertajuk 100 Tahun Kebangkitan Nasional ini. Sebelumnya saya juga telah menghimpun link seri liputan Kompas Ekspedisi 200 Tahun Jalan Raya Pos Anjer-Panaroekan : Jalan (untuk) Perubahan.

Demikian juga saya telah menghimpun link-link ke artikel-artikel Edisi Khusus Kemerdekaan Majalah Tempo tentang Tan Malaka “BAPAK REPUBLIK YANG DILUPAKAN. Sebagai catatan tulisan tentang Tan Malaka juga ada di dalam seri tulisan Kompas seputar 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Apresiasi tinggi pula untuk Majalah Tempo.

Akhir kata secara khusus saya menaruh hormat kepada Pramoedya Ananta Toer yang telah menjadi ‘guru sejarah’ saya melalui karya-karya sastra dan buku-buku sejarah yang ditulisnya. Saya pikir bukan sebuah kebetulan Kompas mengutip roman Jejak Langkah sebagai pengantar liputan khususnya, juga dari buku Pram Jalan Raya Pos, Jalan Daendels- “Indonesia adalah negeri budak. Budak di antara bangsa dan budak bagi bangsa-bangsa lain”.

Tidak lain juga sebuah penghormatan kalau tidak pengakuan terhadap sumbangan Pram untuk negeri ini. Diakui atau tidak.

Salam Pembebasan
Andreas Iswinarto

Untuk seri tulisan 100 Tahun Kebangkitan Nasional
Kipling, Ratu Wilhelmina, dan Budi Utomo; Renaisans Asia Lahirkan Patriotisme Bangsa-bangsa; Semangat Kebangsaan yang Harus Terus Dipelihara; Menemukan Kembali Boedi Oetomo; Ideologi Harga Mati, Bukan Harta Mati; Pohon Rimbun di Tanah yang Makin Gembur; Mencari Jejak Pemikiran Hatta; Membangun Bangsa yang Humanis; Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional; Kaum Cerdik Pandai, antara Ilmu dan "Ngelmu"; Masa Depan "Manusia Indonesia"-nya Mochtar Lubis, Menolak Kutukan Bangsa Kuli; Pendidikan dan Pemerdekaan; Kembali ke PR Gelombang Ketiga; Kebudayaan dan Kebangsaan; Musik Pun Menggugah Kebangsaan...

Silah link ke
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/jejak-langkah-sebuah-bangsa-sebuah.html

Ekspedisi Kompas 200 Tahun Anjer-Panaroekan
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Edisi Kemerdekaan Tempo dan 12 buku online : Tan Malaka
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/tan-malaka-bapak-republik-revolusi.html