Selasa, 16 September 2008

SMK, SOLUSI ATAU EROSI?

Menyiapkan generasi penerus bangsa menghadapai pasar bebas era globalisasi (baca: gombalisasi) maka pemerintah merasa perlu melakukan integrasi dunia pendidikan tinggi dengan globalisasi. Sejak pemerintah RI menandatangani WTO tahun 1997 maka Indonesia terlibat sebagai pelaku kegiatan jual beli jasa di bidang pendidikan. Pendidikan yang seharusnya hak rakyat menjadi sebuah komoditi potensial untuk dijual. Point penting dari perjanjian WTO adalah pendidikan merupakan salah satu sektor jasa yang menjadi komoditi perdagangan di pasar bebas selain sektor kesehatan dan perumahan. Dimana pun yang bernama komoditi dagangan tak pernah ada kata gratis! Pendidikan yang seharusnya menjadi hak rakyat dan negara wajib menjamin keberlangsungan hak itu kini telah menjadi komoditi dagangan untuk mengeruk keuntungan. Orientasi pendidikan kini bukanlah lagi mencerdaskan anak bangsa namun berubah menjadi money oriented. Ya, opsi liberalisasi pendidikan dipandang sebagai pilar kuat menghadapi globalisasi.

Gerbang awal liberalisasi pendidikan ini dimulai ketika pemerintah menerapkan otonomi kampus sejak tahun 2000 ketika beberapa Perguruan Tinggi Negeri seperti UI, UGM, ITB dan IPB diubah bentuknya menjadi BHMN (Badan Hukum Milik Negara). Dengan format BHMN, pembiayaan pendidikan PTN-PTN tersebut tidak lagi sepenuhnya ditanggung pemerintah. Otonomi kampus ini dikampanyekan sebagai hak kampus untuk membangun dan menentukan nasib pembangunan mereka sendiri. Tentunya berbagai subsidi pendidikan yang selama menopang kehidupan pendidikan di kampus di cabut dan “dialihkan” ke sektor lain. Lihatlah bagaimana PTN-PTN tersebut memiliki prinsip cewek matre “ada uang abang sayang, tak ada uang abang kutendang”. Ironis sekali, di Indonesia kini hanya orang kaya saja yang boleh sekolah tinggi. Sebuah kemajuan pendidikan yang luar biasa ditengah keterpurukan ekonomi rakyat.

Untuk menutup dosa liberalisasi pendidikan tersebut pemerintah beserta pakar-pakar pendidikan menawarkan paket irit pendidikan. Setelah diklaim pendidikan jenjang tinggi S-1 alias sarjana bukan lagi jaminan mendapat pekerjaan maka dihidupkan progam-progam sekolah keterampilan siap kerja yaitu SMK. Mendiknas menuangkan cita-cita mulianya melalui visi dan misinya yaitu menyiapkan generasi bangsa yang siap hidup di jamannya dengan membekali skill life. Peserta didik di beri ketrampilan-ketrampilan yang siap pakai di dunia kerja. Target utamanya adalah langsung mendapat kerja setelah lulus sekolah untuk mengurangi prosentase pengangguran di Indonesia

Christopher Lingle di harian Jakarta Post (20/02/08), dalam artikel yang berjudul "Restoring Indonesia's economy to a higher growth path" mencatat bahwa pengangguran di Indonesia mencapai 40% dari total angkatan kerja. Sisanya pun ternyata terdiri dari pekerja dan setengah pengangguran. Bank Dunia menyebutkan sekitar 49, 5% Rakyat Indonesia berpendapatan di bawah 2US$/hari. Di Indonesia seorang sarjana dengan pendapatan sama dengan tukang becak bukanlah hal aneh. Bahkan beberapa sarjana-sarjana yang kesulitan mendapat lapangan pekerjaan memilih banting stir meramaikan bursa TKI bekerja keluar negeri, tentunya sebagai pembantu rumah tangga, penjaga toko, buruh pabrik atau cleaning servis rumah sakit. Maka alternatif pendidikan murah yang siap kerja resepnya hanya masuk SMK! Tak perlu keluar biaya mahal dan waktu belajar yang lama, dijamin peserta didik terampil dan siap kerja bahkan sudah dipesan dunia usaha sebelum mereka lulus. Sungguh tawaran yang menggiurkan. Semua wali murid dan calon wali murid mulai bernafas lega.

Menyikapi tingginya kebutuhan pasar akan lulusan trampil yang siap kerja maka pemerintah menelurkan kebijakan proporsi SMK: SMA menjadi 70:30. dengan kebijakan ini maka goalnya adalah mengurangi angka penganguran dan menyiapkan generasi trampil dengan skill life yang bisa hidup di jamannya yaitu era globalisasi. Jika yang 70 adalah calon tenaga trampil maka yang 30 tadi adalah calon generasi istimewa yang siap memasuki perguruan tinggi-perguruan tinggi. Sebuah solusi yang ideal. Wali murid dan calon wali murid pun bernafas lega kembali dengan kebijakan ini.

Alasan yang membuat semakin banyaknya calon peserta didik memasuki jenjang pendidikan SMK selain dipandang sebagai jalur tol mendapat pekerjaan, pendidikan di Indonesia khususnya jenjang pendidikan tinggi dituding banyak yang tidak sesusai dengan kebutuhan pasar. Akhirnya banyak sarjana-sarjana menjadi penganguran karena pengetahuan dan ketrampilannya tidak sesuai dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tidak sesuainya arah pendidikan tinggi dengan permintaan pasar ini diistilahkan dengan mismatch pendidikan. Sehingga banyak jurusan-jurusan yang dianggap tidak potensial ditutup atau digabung dengan jurusan lain yang kira-kiri berpotensial dan banyak peminat. Dan solusi jitu untuk menyelesaikan masalah mismatch pendidikan adalah menyelaraskan pendidikan yang sesuai dengan permintaan pasar agar dapat meminimalir pengangguran hanyalah progam SMK. SMK-SMK didirikan disetiap daerah sesuai potensi daerahnya masing-masing seperti SMK pertanian di Malang, SMK Teknolog Pertanian di bogor atau SMK perikanan di Lamongan.

Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan dan penjamin penyelenggaraan pendidikan telah memberi solusi yang pas. SMK adalah jawaban yang tepat mengatasi masalah mismatch pendidikan dengan dunia kerja. Harapan terbesar adalah semakin banyak generasi penerus bangsa yang terampil dan memperoleh kehidupan layak. Grafik angka kemiskinan menurun seiring dengan turunnya grafik angka pengangguran. Apa iya?

Ketika orientasi pendidikan hanya kepada membekali skill life pada peserta didik apalagi dengan proporsi SMK:SMA menjadi 70:30 maka bisa dibayangkan proporsi generasi trampil dengan generasi pemikir menjadi sangat timpang. Pendidikan di Indonesia menjadi pencetak tenaga-tenaga kerja yang “semoga saja” terampil tapi minim sekali generasi pemikir yang cerdas yang diharapkan bisa menyumbangkan buah pemikiran membawa negara ini keluar dari kebodohan. Indonesia hanya pencetak generasi dengan mental buruh. Setelah generasi-generasi terampil tersebut terjun di dunia kerja apa iya mereka berpikir tentang perubahan bangsa? Boro-boro perubahan bangsa, yang ada hanyalah bekerja, bekerja dan bekerja kejar setoran. Bagaimana dengan peningkatan kualitas diri mereka setelah mereka memasuki dunia kerja? Wahai wali murid dan para calon wali murid, di jaman globalisasi ini pemilik usaha dan lapangan pekerjaan adalah para pemilik modal besar. siapakah mereka? Bukan pak Joko atau pak Ujang, tapi para korporasi asing yang kita kenal dengan MNC (Multi Nationals Coorporation)! Indonesia adalah surganya para pengusaha mencari tenaga kerja murah. Tentunya perusahaan-perusahaan hanya mengembangkan SDM sesuai kebutuhan. Sayangnya fakta di lapangan, tenaga-tenaga kerja di Indonesia lulusan SMK paling banter hanya sampai kelas operator. Menejernya jelas orang-orang pilihan yang maaf, pasti bukan lulusan SMK.

Indonesia dalah negara kaya raya. Jamrud khatulistiwa. Gemah ripah loh jinawi. Bahkan kita melempar batang kayu langsung tumbuh menjadi tanaman. Sungguh kaya negara kita. Tapi berapa anggaran pendidikan di APBN negara kita? Berapa persen? Sampai-sampai subsidi pendidikan di jenjang pendidikan tinggi dipangkas dan dialihkan ke sektor lain. Menurut data Susenas 2004, dari penduduk usia sekolah 7–24 tahun yang berjumlah 76, 0 juta orang, yang tertampung pada jenjang SD sampai dengan PT tercatat baru mencapai 41, 5 juta orang atau sebesar 55 persen. Sementara itu, menurut data Balitbang Depdiknas 2004, angka putus sekolah atau drop-out di tingkat SD/MI tercatat sebanyak 685.967 anak, yang berhasil lulus SD/MI tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP/MTs dan putus sekolah di tingkat SMP/MTs sebanyak 759.054 orang. Situasi ini sangat kontras dengan nilai profit kandungan kekayaan alam yang dimiliki oleh tanah air kita, yang justru memberikan kemakmuran melimpah kepada korporasi-korporasi asing. Kemanakah kekayaan negeri kita?Pemerintah RI sejak negara kita masih belia telah terikat beberapa perjanjian yang membuat negara kita dengan suka rela menyerahkan kekayaan negara kita kepada pihak asing. Kok bisa?

Tahun 1960-an Indonesia terlibat perebutan hegemoni tanah papua dengan Belanda. AS sebagai ketua geng konspirasi imperialisme menghendaki Papua masuk kedalam NKRI dengan syarat-syarat eksploitasi ekonomi yang akan menjadi hak ekslusive bagi imperialis dalam mengeruk sumber daya alam Papua. Tepat 30 September 1962 untuk tetap menjaga kepentingan eksploitasi ekonominya, atas inisiatif AS, dilakukan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat Perjanjian Rahasia Roma (the Secret Rome Agreement) Salah satu isi perjanjian rahasia roma adalah Indonesia memerintah Papua selama 25 Tahun terhitung mulai tanggal 1 Mei 1963; AS berkewajiban melakukan penanaman modal melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya; AS menjamin Bank Pembangunan Asia sebagai dana pembangunan PBB di Papua sebesar 30 Juta dollar AS untuk jangka waktu 25 tahun dan tentunya segala dana pembangunan tersebut adalah berstatus hutang luar negeri Indonesia.

Demi dukungan dunia terutama AS kepada NKRI terhadap hegemoni Papua maka pemerintah RI rela mempersilahkan koorporasi asing terutama AS untuk melakukan eksploitasi mineral dan sumber daya alam lainnya. Terbukti pada Bulan Nopember 1965, Freeport McMoran Gold & Copper mulai melakukan penjajakan investasi ekonomi dengan regime baru yang pro AS. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang singkapan deposit tambang tembaga terbesar didunia yang terdapat di Ertsberg, didaerah pegunungan tengah Papua. Kepastian mengenai adanya deposit tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sampel geologis dari singkapan Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960 dan Bulan April 1967 dilakukan kontrak karya (kk) generasi pertama yang mengatur tentang ketentuan pokok penambangan oleh pihak asing di Indonesia yaitu Freeport McMoran Gold & Copper. Kk ini menghasilkan dua paket ekonomi yang sangat vital bagi investasi modal asing dibidang pertambangan dan juga sebagai suatu tanda dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia yang berisi UU No.1 Tahun 1967 Mengenai Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan UU No.11 Tahun 1967 Mengenai Pertambangan (UU Pertambangan).

Kedua paket kebijakan ekonomi itu pulalah yang membuka peluang masuknya raksasa modal atau multi nationals corporation seperti Freeport McMoran Gold & Copper, Exxon-Mobil, Rio Tinto, Newmont, Dutch-Shell, Conoco Oil, Petro China dan beberapa lainnya. Inilah cikal bakal liberalisasi ekonomi di Indonesia dan penyedotan kekayaan negara Indonesia yang justru dilegitimasi undang-undang oleh Pemerintahan RI.

Dalam laporan pendapatannya untuk tahun 2007, pihak ExxonMobil memperoleh keuntungan sebesar $40.6 Billion atau setara dengan Rp3.723.020.000.000.000 (dengan kurs rupiah 9.170). Nilai penjualan ExxonMobil mencapai $404 billion, melebihi Gross Domestic Product (GDP) dari 120 negara di dunia. Setiap detiknya, ExxonMobil berpendapatan Rp 11.801.790, sedangkan perusahaan minyak AS lainnya, Chevron, melaporkan keuntungan yang diperolehnya selama tahun 2007 mencapai $18, 7 billion atau Rp171.479.000.000.000. Royal Ducth Shell menyebutkan nilai profit yang mereka dapatkan selama setahun mencapai $31 milyar atau setara dengan Rp 284.270.000.000.000. Sayangnya semua keuntungan tersebut bukan milik kas Negara kita. Semua profit tersebut dihisap dari perut bumi Indonesia tapi hasilnya bukan untk kesejahteraan rakyat Indonesia.

Sungguh ironis sekali Negara sekaya Indonesia dengan limpahan hutan tropis serta kekayaan tambang mineral generasi mudanya hanya dipersiapkan sebagai buruh! SMK memang memiliki visi dan misi yang tepat untuk menyiapkan calon tenaga kerja yang siap kerja, namun dengan catatan lapangan pekerjaan seperti apa? Sampai seberapa progress life para lulusan SMK di dunia kerja mereka kelak sedangkan era globalisasi dengan perdagangan bebas membuka pintu lebar-lebar para pekerja asing masuk ke Indonesia, bisa dibayangkan seperti apa gilasan persaingan tersebut kepada lulusan-lulusan SMK Indonesia yang belum tentu kompetitif dibanding dengan mereka para ekspatriat .

Solusi dilema ekonomi Negara ini adalah bukan memangkas APBN pendidikan namun mengembalikan rel pendanaan APBN yang sekarang mencapai 40 % untuk membayar hutang dan bunga berbunganya ke rel pendanaan yang memihak kepentingan rakyat khususnya untuk pendidikan . Keberanian untuk keluar dari IMF dan Bank Dunia seperti yang dilakukan presiden Venezuela, Hugos Chaves sangat perlu ditiru pemerintah Indonesia. Hutang-hutang yang dikucurkan para IMF dan Bank Dunia tersebut adalah jeratan para Negara kreditor khususnya Amerika kepada negara debitor khususnya Indonesia untuk mendikte kebijakan-kebijakan yang membawa keuntungan bagi negara-negara pendonor seperti UU no .25/2007 tentang Penanaman Modal dan kewajiban Indonesia masuk dalam kesepakatan WTO dan mengaktulisasi dalam kebijakan meliberalisasi (baca: komersialisasi) pendidikan. Nasionalisasi asset-asset Negara juga merupakan suatu solusi yang rasional untuk menyelamatkan perekonomian negara sehingga arus profit tidak menguap keluar namun masuk kedalam neraca penerimaan negara.

Pendidikan seharusnya wajib diselenggarakan oleh negara karena melalui pendidikan pula roda pembangunan dikayuh oleh generasi-generasi muda yang tangguh, kompetitif dan berwawasan luas. Sangat ironis jika untuk memajukan bangsa dan negara, pemerintah malah memperminim anggaran pendidikan yang sekarang ini tak mencapai 15%. Generasi seperti apa yang ingin dihasilkan oleh bangsa yang pelit anggaran untuk pendidikan bahkan tega mengkomersialisasikan pendidikan ditengah kemiskinan rakyatnya. Kunci kemajuan sebuah bangsa dan peradaban justru terletak di kekayaan intelektual generasi-generasi penerusnya bukan hanya dikemampuan mengerjakan semua kemauan juragan karena bangsa kita bukan bangsa babu, Indonesia bukan produsen buruh murah!

sebelumnya saya minta maaf jika tulisan saya ini membakar emosi, menimbulkan aroma tak terima, dan segala rasa yang intinya menolak keras seluruh content tulisan di atas, tapi sungguh....tanpa bermaksud merendahkan siapapun, menyepelekan para penggagas dan konseptor pendidikan di Indonesia, segala hal di atas hanya sedikit analisa...cuma pendapat..dan bersyukur sekali jika suatu saat Pak SBY sudi membaca tulisan saya ini. sedikit catatan, saya sendiri juga guru SMK, jadi paling tidak saya juga bertindak obyektif dalam menulis artikel tersebut, saya bukan tukang jamu yang mengkritisi pekerjaan listrik...asal nyablak..asal nyeplos...semua data-data di atas juga bukan gosip apalagi pepesan kosong....!

0 komentar: